Social Icons

Biografi Ikhwan As-Shafa


Ikhwan As-Shafa

A. BIOGRAFI IKHWAN AS-SHAFA
Ikhwan As-Shafa adalah nama sekelompok  pemikir muslim rahasia berasal dari sekte Syiah Ismailiah yang lahir di tengah-tengah komunitas sunni sekitar abad ke-4 H/10M di Basrah.[1] Syiah Ismailiah yang terlibat dalam propaganda politik secara rahasia sejak meninggalnya imam mereka, Isma’il bin Jabar As-Sadiq, tahun 760. Ketika Syiah menjadi madzhab penguasa, kelompok ini muncul ke permukaan meski tetap mempertahankan kerahasiaan gerakannya. Ada yang mengenal kelompok ini sebagai ikatan para pemikir (intelektual) yang menyebarkan fisafat dan sains dengan cara memadukan syariat Islam dengan filsafat Yunani[2]. Kerahasiaan kelompok ini menamakan dirinya khulafa al-wafa’, ahl al-adl, dan abna’ al-hamd (Brethrn of Purity[3]). Terungkap setelah kekuasaannya Dinasti Buwaihi, yang berpaham Syiah di Baghdad pada tahun 983 M.
Pemikiran mereka sangat layak dikaji karena lebih sekedar kajian artifikasi, disamping Ikhwan sangat dikenal di timur tengah.[4] Tokoh terkemuka sebagai pelopopr organisasi ini ialah Ahmad Ibn abd Allah, Abu Sulaiman Muhammad Ibn Nashr Al-Busti yang dikenal dengan sebutan Al-Muqaddasi, Zaid Ibn Rifa’ah dan Abu Al-Hasan Ali Ibn harun Al-Zanjay.[5]
Timbulnya organisasi yang bergerak dalam bidang keilmuan dan juga politik ini ada hubungannya dengan kondisi dunia Islam ketika itu. Sejak pembatalan teologi rasional mu’tazilah sebagai mazhab negara oleh Al-Mutawakkil, maka kaum rasionalis dicopot dari jabatan pemerintahan, kemudian diusir dari Baghdad. Kemudian penguasa melarang mengajarkan Kesusastraan ilmu dan Filsafat. Kondisi yang tidak kondusif ini berlanjut pada khalifah-khalifah sesudahnya. Hal ini menimbulkan cara berfikir tradisional dan meredupnya keberanian berfikir rasional umat. Disisi lain terjangkit pada pola hidup mewah dikalangan pembesar negara. Maka, masing-masing golongan berusaha mendekati khalifah untuk menanamkan pengaruhnya sehingga timbul persaingan tidak sehat yang menjurus pada timbulnya dekadensi moral.
Berdasarkan itulah lahirnya Ikhwan As-Shafa yang ingin menyelamatkan masyarakat mendekatkannya pada jalan kebahagiaan yang diridhai Allah. Menurut mereka, syariat dinodai bermacam-macam kejahilan dan dilumuri keanekaragaman kesesatan. syariat telah dikotori oleh kebodohan dan kesesatan manusia dalam memahaminya[6]. Menurut mereka, tidak ada jalan untuk membersihkannya, kecuali dengan  filsafat karena filsafat mengandung hikmah dan kemaslahatan.[7] Mereka adalah kelompok rahasia tidak senang kepada para ulama dan penguasa yang di anggap telah meracuni akal pikiran seta mengutuk para filosof yang di tuduhnya sebagai penganut Bid’ah. Mereka menganggap agama telah mambeku karena para ulama yang jumud dan fanatik, syariat benar-benar di nodai dengan berbagai kata dan ta’wilyang bertentangan dengan syariat. Usaha untuk membersihkan agama adalah dengan filsafat. Mereka mempelajari filsafat untuk  menguatkan keyakinan yang mereka padukan dengan dengan agama. Mereka membahas sedalam-dalamnya filsafat Yunani, Persia, India dll yang di padukan dengan ajaran Islam sehingga melahirkan sebuah ikhtisar mazhab yang khas bagi mereka sendiri, dengan pemaduan ajaran agama dengan teori filsafat, maka kesempurnaan yang akan mengantar kepada kebahagiaan yang akan tercapai.[8]
Dalam upaya memperluas gerakan Ikhwan As-Shafa mengirimkan orang-orangnya ke kota-kota tertentu untuk membentuk cabang dan mengajak siapa saja yang berminat pada keilmuan dan kebenaran khususnya dari orang-orang muda, agar mudah dibentuk, meskipun begitu militansi anggota dan kerahasiaan organisasi tetap terjaga. Calon anggota perhimpunan ini dituntut keras untuk berpegangan teguh satu sama lain dalam mengahadapi  marabahaya dan kesukaran untuk membantu satu sama lain baik dalam perkara duniawi maupun rohani dan untuk menjaga diri agar tidak bersahabat dengan persaudaraan yang tercela. Karena hal tersebut ada empat tingkatan anggota,[9] yaitu:
Tingkat 1   :  Terdiri dari pemuda cekatan berusia dari 15-30 tahun (Al-Abrar Ar-Ruhma’ = para saudara yang baik dan dikasihi) yang memiliki jiwa yang suci dan pikiran yang kuat. Mereka ini berstatus murid maka wajib patuh dan tunduk secara sempurna kepada guru.
Tingkat 2   :  Adalah Al-Ikhwan Al-Akhyar Al-Fudala’ (para saudara yang terbaik dan utama) berusia dari 30-40 tahun. Pada tingkatan ini mereka sudah mampu memelihara persaudaraan, pemurah, kasih sayang, dan siap berkorban demi persaudaraan.
Tingkat 3   : Adalah Al-Ikhwan Al-Fudhala Al-Kiram berusia 40-50 tahun (para saudara yang utama dan mulia). Merupakan tingkatan dewasa. Mereka sudah mengetahuinamus al-Ilahi sebagai tingkat para Nabi.
Tingkat 4   : Adalah tingkat tertinggi setelah seseorang mencapai usia 50 tahun keatas. Kelompok elit yang ahli mereka telah terbuka menyaksikan kebenaran dengan mata hati. Mampu memahami hakikat seseuatu spesifik seperti halnya malaikatal-Muqarratun, sehingga mereka sudah berada di atas alam realitas, syariat dan wahyu.
Dari tingkatan-tingkatan diatas Ikhwan As-Shafa sangat selektif dalam memilih anggota, tidak semua orang dapat diterima sebagai anggota, yang diterima adalah mereka yang benar-benar memenuhi syarat dan memiliki kwalitas yang unggul terutama dalam bidang ketajaman pikiran.
Pada masa Khalifah Abbasiyah dikuasai Dinasti Salajikah yang berpaham sunni, gerakan kelompok ini dinilai mengganggu stabilitas keamanan dan ajaran-ajarannya di pandang sesat. Maka pada tahun  450 Khalifah Al-Muntanzid mengintruksikan agar seluruh karya filsafat diserahkan kepadanya untuk dibakar. Hal ini disebabkan semata-mata perbedaan ideologi antara penguasa Dinasti Salajikah yang Sunni dengan kelompok Ikhwan Al-Syafa yang Syiah.[10]

B. KARYA TULIS IKHWAN AS-SHAFA
Ikhwan As-Shafa menghasilkan karya tulis yang terhimpun kedalam sebuah kumpulan tulisan yang terdiri dari 52 Risalah dengan keluasan dan kualitas beragam yang mengkaji subjek-subjek berspektrum luas yang merentang dari musik sampai sihir, karya Ikhwan As-Shafa ini dinamakan “Rasail Ikhwan As-Shafa”. Rasail ini juga merupakan ensiklopedi populer tentang ilmu filsafat pada waktu itu. Pertemuan-pertemuan yang dilakukan sekali dalam 12 hari di rumah Zaid Ibn Rifa’ah-ketua- secara sembunyi-sembunyi tanpa menimbulkan kecurigaan. Ditilik dari segi isi, rasail tersebut dapat diklasifikasikan kepada 4 bidang, yaitu: [11]
a.       14 risalah  tentang matematika, yang mencakup geometri astronomi, musik geograf, teori dan praktek seni, moral dan logika.
b.      17 risalah tentang fisika dan ilmu alam meliputi geneologi, minerologi, botani, hidup dan matinya alam, senang dan sakitnya alam, keterbatasan manusia dan kemampuan kesadaran.
c.       10 risalah tentang ilmu jiwa meliputi metafisika mazhab Pytagoreanisme dan kebangkitan alam.
d.      11 risalah tentang ilmu-ilmu ketuhanan, mencakup kepercayaan dan keyakinan, hubungan alam dengan Tuhan, kayakinan Ikhwan Al-Syafa, kenabian dan keadaanya, tindakan rohani, bentuk konstitusi politik, kekuasaan Tuhan, magic, dan jimat.
Kita memiliki informasi-informasi berikut yang di susun oleh Friedrich Dieterici dari lima puluh dua Risalah-risalah yang diterbitkan oleh Persaudaraan (Ikhwan As-Shafa):[12]
Studi-studi keduniaanMembaca dan menulis, leksikografi dan tata bahasa, kalkulasi dan komputasi, ilmu persajakan dan puisi, ilmu tentang alamat dan isyarat, ilmu magis, jimat-jimat, kimia dan permainan sulap, perdagangan dan kerajinan, jual-beli, komersial, pertanian dan peternakan sapi, serta boigrafi dan cerita.
Studi-studi ReligiusPengetahuian tentang kitab suci(yakni al-Qur’an), penafsiran Kitab Suci, ilmu pengetahuan tentang tradisi (hadis), fiqih dan peringatan Tuhan, kehidupan pertapa, mistikisme (sufisme) dan kegembiraan atau pandangan yang membahagiakan.
Studi-studi FilosofikalMatematika, logika, ilmu berhitung, geometri, astronomi, musik, hubungan aritmatikal dan geometrical, ilmu pengetahuan alam dan antropologi, zat, bentuk, waktu dan gerak, kosmologi, produksi, destruksi dan unsur-unsur, meteorologi, mineralogy, esensi alam dan manifestasinya, botani, zoologi, anatimi dan antropologoi, daya menanggapi perasaaan, embroilogi, manusia sebagai mikrokosmos, perkembangan jiwa (evilusi psikis), tubuh dan jiwa, sifat yang sebenarnya tentang perasaan sakit (menderita) dan kesenangan psikis dan fisik, perbedaan bahasa (filologi), pengertian psikologi, dunia kejiwaan (ruh) dan sebagainya, dan doktrin teologi-isoterik Islam, pesan-pesan dari dunia ruh, ilmu-ilmu gaib.
Teks risalah ikhwan As-Shafa terbit secara lengkap pertama kali tahun 1305-1306H/1887-1889M di Bombay, tahun 1928 di Cairo (diedit oleh Zikrili), kemudian pada tahun 1957 diterbitkan di Beriut. Pemikiran ikhwan as-shafa yang menonjol adalah dalam bidang filsafat. Mereka memendang bahwa syariat itu hanya cocok untuk orang awam, bagaikan obat –obatan untuk jiwa yang lemah dan sakit. Pengaruh risalah Ikhwan As-Shafa cukup besar dalam kelanjutan transformasi filsafat Yunani ke dunia Islam, meskipun mendapat reaksi cukup keras dari golongan agama. Termasuk juga dari kelompok mutakallim (teolog) yang menolak pen-ta’wil-an Al-Qur’an dan hadis. Bahkan kalangan filusuf sendiri memandang filsafat yang dikembangkan oleh ikhwan as-shafa sebagai aneh dan hanya cocok untuk orang awam.[13]
Friedrich Dieterici menunjukkan di dalam referensinya tentang rasail bahwa pemahaman yang benar-benar terhadap isinya merupakan persyaratan bagi para cendikiawan untuk menguasai pengetahuan tentang asas-asas pendidikan sebagaimana telah ditekankan secara rinci dalam karya ini. Rasail oleh ihwan As-Shafa merupakan usaha ekstensif pertama untuk menggabungkan semua pengetahuan. Risalah XIV-XL, membicarakan tentang masalah filologis dan pesikologis, sangat penting bagi mahasiswa pendidikan maupun psikologi.[14]
Meskipun kelima puluh dua risalah itu merupakan karya anonim, tetapi karya-karya tersebut telah dikumpulkan oleh orang-orang Syiah yang menjadi anggota Ikhwan As-Shafa yang kemudian berkembang di Basrah. Beberapa orang anggotanya berasal dari Bust di Persia Timur jauh, dari Zanjan di Persia Barat Laut dan Jerusalem, anggota-nggota lainnya kemungkinan dari keturunan Arab.
Ringkasan ilmu-ilmu filsafat ini, diibaratkan oleh orang Arab pada abad ke-10 dengan sebuah kebun mewah, dan pemiliknya seorang bijak dan pemurah. Bahkan meminta setiap orang yang lewat untuk singgah sebentar dan menikmati buah-buahan dan naungan hijau di kebun tersebut. Tetapi sebagian kecil saya yang benar-benar mengambil keuntungan dari kesempatan ini, karena keraguan dan kebodohan mereka. Agar hilang rasa ragu mereka, pemilik kebun itu memperlihatkan contoh-contoh dari buah-buahan dan tumbuh-tumbuhan tersebut, dan dengan begitu terpikatlah orang-orang yang lewat didekatnya untuk memasuki dan berbagai kesenangan didalamnya.[15] Pengetahuan Filsafat mereka dibagi menjadi 4 bagian, yaitu:
  1. Pengetahuan matematika
  2. Pengetahuan logika
  3. Pengetahuan fisika
  4. Pengetahuan ilahiah/ketuhanan,
yang mempunyai bagian-bagian:[16]
-    mengetahui Tuhan
-    ilmu kerohanian, yaitu malaikat-malaikat Tuhan
-    ilmu kejiwaan, yaitu mengetahui roh-roh dan jiwa-jiwa yang ada pada benda-benada langit dan benda-benda  alam.
-    Ilmu politik, yang mencakup politik kenabian, politik pemerintahan, politik umum (politik kekotaan, politik khusus (politik rumah tanga), politik pribadi (akhlaq))
-    Ilmu keakhiratan, yaitu mengetahui hakikat kehidupan di hari kemudian.
Dalam pengajaran Ikhwan As-Shafa pengetahuan yang paling mulia adalah pengetahuan tentang Tuhan dan sifat-sifat yang layak bagi-Nya menyusul  pengetahuan tentang hakikat jiwa, hal-ihwalnya, dan hubungannya dengan raga (tubuh), keberadaannya yang sementara dalam tubuh, kelepasannya dari tubuh, dan keberadaannya kembali di dalam jiwa. Selanjutnya adalah pengetahuan tentang hari bangkit (kiamat), hari berhimpun, hari perhitungan amal, hari masuk surga/neraka, dan perjumpaan dengan Tuhan. Mereka mengajrakan supaya para anggota jemaah Ikhwan As-Shafa mempelajari semua pengetahuan, tidak mengabaikan suatu buku dan tidak fanatik terhadap salah satu madzhab agama.[17]

C. FILSAFAT IKHWAN AS-SHAFA
Menurut ikhwan As-Shafa filsafat memiliki 3 tingkatan, yaitu:
Pertama :  Cinta Ilmu.
Kedua    :  Mengetahui hakikat wujud-wujud menurut kesanggupan manusia.
Ketiga    :  Berkata dan berbuat sesuai dengan ilmu.[18]
Tujuan filsafat dalam pengajaran mereka adalah menyerupai Tuhan sejauh kemampuan manusia. Untuk mencapai tujuan itu manusia harus berijtihad (berupaya sungguh-sungguh) menjauhkan diri dari berkata bohong dan meyakini akidah yang batil, pengetahuan yang keliru dan akhlak yang rendah, serta berbuat jahat dan melakukan pekerjaan secara tak sempurna. Aktifitas filsafat dikatakan sebagai upaya menyerupai Tuhan karena tuhan tidaklah mengatakan, kecuali yang benar dan tidak melakukan kecuali kebaikan.

1.   Al-Tawfiq dan Al-Talfiq
Pemikiran Al-tawfiq (rekonsilisasi) Ikhwan As-Shafa terlihat pada tujuan pokok bidang keagamaan yang akan mereka capai, yakni menyelaraskan antara agama dan filsafat dan juga antara agama-agama yang ada. Usaha ini terlihat dari ungkapan bahwa syariat telah dikotori bermacam-macam kejahilan dan dilumuri berbagai kesesatan. Satu-satunya jalan untuk membersihkannya adalah filsafat.[19] Ikhwan As-Shafa melepaskan sekat-sekat perbedaan agama, karena rekonsilisasi yang mereka maksud tidak hanya antara filsafat dengan Agama Islam, namun juga antara filsafat dengan seluruh agama, ajaran keyakinan yang ada. Kemudian menurut kaum mereka, apabila dipertemukan dan disusun antara filsafat Yunani dan syariah Arab maka ia akan menghasilkan sebuah kesempurnaan.
Tampaknya Ikhwan Al-Syafa menempatkan filsafat diatas agama, tetapi sebenarnya bukanlah demikian, mereka hanya menempatkan filsafat menjadi landasan agama yang dipadukan dengan ilmu. Kesimpulan ini didukung dengan pendapat mereka bahwa Al-Qur’an yang berkonotasi indrawi dimaksudkan agar cocok dengan tingkatan nalar orang Arab Badui yang mempunyai kesamaan budaya. Sedangkan bagi yang memiliki pengetahuan yang lebih tinggi diharuskan memakai ta’wil untuk melepaskan diri dari pengertian lafdzi indan indrawi.
Disamping itu Ikhwan As-Shafa melakukan rekonsilisasi (al-taufiq) dengan cara mengambil ajaran filsafat yang tidak bertentangan dengan ajaran islam, bisa dikatakan mereka memahami agama secara rasional. Sebenarnya antara tujuan filsafat dan agama, menurut Ikhwan As-Shafa  adalah sama. Filsafat bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah sejauh kemampuan manusia dengan dasar ilmu yang benar, akhlaq yang mulia dan bertingkah laku yang terpuji. Sementara itu agama juga dimaksudkan untuk mendidik jiwa manusia dan mengantarkan mereka agar dapat mencapai kebahagiaan, baik di dunia maupun di akhirat.[20]
Selanjutnya Ikhwan As-Shafa juga memadukan agama-agama yang berkembang pada waktu itu dengan berdasarkan filsafat, seperti Islam, Kristen, Majusi, Yahudi, dll. Karena menurut mereka tujuan agama adalah sama, yaitu untuk mendekatkan diri kepada Tuhan.[21] Menurut Ikhwan As-Shafa perbedaan-perbedaan keagamaan bersumber dari faktor-faktor yang kebetulan, seperti ras, tempat tinggal, atau keadaan zaman, dan dalam beberapa kasus juga faktor tempramen dan susunan personal. Karena itu agama gabungan yang mereka maksud akan menjadi pegangan dalam Negara yang mereka impikan, dalam hal ini merupakan tujuan agama mereka yang kedua untuk menggantikan Daulah Abbasiyah yang berada pada kerusakan (al-fasad) yang harus diganti dengan Negara baru. Demikianlah juga penduduknya telah menjadi ahl al-syar (jelek). Negara baru yang mereka idamkan, bagaikan laki-laki yang satu dalam segala urusan dan jiwa yang dalam segala pengaturan. Sedangkan penduduknya adalah ahl al-khair (baik) yang terdiri dari kaum ulama, filsuf, dan orang-orang pilihan, dimana mereka semua sepakat atas pendapat yang satu, mazhab yang satu, agama yang satu pula.
Usaha al-taufiq (rekonsilisasi) di atas menghasilkan kesatuan filsafat dan kesatuan mazhab. Implikasinya akan melahirkan apa yang disebut dengan al-talfiq (ekletik) yang memadukan semua pemikiran yang berkembang pada waktu itu. Seperti pemikiran Persia, Yunani, dan semua agama. Sementara itu, sumber ajaran mereka ialah Nuh, Ibrahim, Sokrates, Plato, Zoroaster, Isa, Muhammad, dan Ali.[22] Ekletik (talfiq) yang mereka lakukan ialah dengan cara mengambil ajaran-ajaran dari sumber manapun yang mereka nilai benar dan baik, dan tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Mereka tetap mengagungkan agama Islam sebagai agama dan ajaran terbaik. Usaha diatas ada yang menilai bersifat idealis dan tidak mungkin membumi di alam nyata, mengingat manusia yang masing-masing individu mempunyai nature dan kemampuan yang berbeda. Tetapi apabila dipahami secara cermat, ajaran ekletik (talfiq) Ikhwan As-Shafa ini bukanlah suatu ajaran utama dan ajaran-ajaran lain hanya sekedar pelengkap untuk memudahkan pemahaman Islam itu sendiri.

2.   Emanasi (al-faidh)
Ikhwan As-Shafa menganut paham penciptaan alam oleh Tuhan secara emanasi. Menurut paham emanasi mereka Tuhan memancarkan Akal Universal atau Akal Aktif. Akal Universal memancarkan Jiwa Universal. Jiwa Universal lalu memancarkan Materi Pertama, yaitu bentuk dan jiwa dan dari Materi Pertama, muncul tabiat-tabiat yang menyatu dengan jiwa. Jiwa Universal dengan bantuan Akal Universal mengerakkan materi pertama sehingga mengambil bentuk yang memiliki dimensi panjang, lebar, dan tinggi. Dengan demikian, terwujud tubuh yang mutlak, dan dengan tubuh mutkak itu tersusun alam falak/langit dan unsur empat (tanah, air, udara, api). Karena pengaruh gerakan langit yang berputar, terjadi percampuran unsur yang empat sehingga muncul mineral, tumbuh-tumbuhan, hewan dan manusia. Di alam langit, yang lebih dahulu muncul adalah wujud yang lebih mulia (Akal Universal, kemudian Jiwa Universal, dan seterusnya). Adapun di bumi, yang paling akhir muncul adalah yang paling mulia (didahului oleh mineral, kemudian tumbuhan, kemudian hewan dan yang terahir baru muncul manusia).[23]
Jadi Allah tidak berhubungan dengan alam materi secara langsung sehingga kemudian tauhid dapat dipelihara dengan sebaik-baiknya. Secara ringkas rangkaian proses emanasi itu sebagai berikut:[24]
Allah Maha Pencipta dan dari-Nya timbullah:
a.       Akal Aktif atau Akal Pertama atau Akal Universal (al-‘Aql al-Fa’al)
b.      Jiwa Universal (al-Nafs al-Kulliyat)
c.       Materi Pertama (al-Hayyula al-Ula)
d.      Alam Aktif (al-Thabi ‘at fa’ilat)
e.       Materi Absolut atau Materi Kedua (al-Jism al-Muthlaq)
f.       Alam Planet-planet (‘Alam al-Aflak)
g.      Unsur-unsur alam terendah (‘Anashir al-‘Alam al-sufla) yaitu air, udara, tanah, dan air.
h.      Materi gabungan yang terdiri dari mineral, tumbuh-tumbuhan, dan hewan. Sementara itu manusia termasuk dalam kelompok hewan, tetapi hewan yang berbicara dan berpikir.
Dalam filsafat Ikhwan As-Shafa penciptaan alam oleh Tuhan adalah menifestasi kesempurnaan Tuhan. Tuhan menciptakan segenap alam rohani dan potensi alam raga yang tersusun. Ia menciptakan segenap alam rohani sekaligus, sedangkan alam raga yang tersusun di ciptakan-Nya beranngsur-angsur dengan mengubahnya dari keberadaan potensial pada keberadaan aktual. Tuhan berperan sebagai sebab pertama dan langsung bagi keberadaan Akal Universal tetapi hanya sebagai sebab pertama dan tidak langsung bagi keberadaan dan terjadinya pada segenap ciptaan-Nya yang lain.[25]
Proses penciptaan secara emanasi menurut Ikhwan As-Shafa terbagi menjadi dua, yaitu:
a.       Penciptaan secara langsung (daf’atan  atau wahidah) yang disebut dengan alam rohani, yakni akal aktif, jiwa universal, dan materi pertama.
b.      Penciptaan secara gradual (tadrij) apa yang mereka sebut dengan alam jasmanai, yakni jisim mutlak dan seterusnya. Jisim Mutlak tercipta dalam zaman yang tidak terbatas dalam periode yang panjang. Periode-periode ini akan membentuk perubahan-perubahan dalam masa, seperti penciptaan dalam masa enam hari. Tentang alam semesta ini, menurut mereka diciptakan Allah dengan emanasi secara gradual, mempunyai awal dan berakhir pada masa tertentu.
Salah satu pemikiran Ikhwan As-Shafa yang paling mengagumkan yakni pada rentetan emanasi, ia telah mendahului, bahkan melebihi Charles Darwin (1809-1882) tentang rangkaian kejadian di alam secara evolusi. Darwin dalam evolusi biologisnya hanya bicara manusia diduga berasal dari kera, sedangkan Ikhwan As-Shafa membicarakan emanasi dan evolusi. Dalam rangkaian evolusinya, mereka menyebutkan alam mineral, dan tumbuh-tumbuhan, alam hewan, dan alam manusia merupakan satu rentetan yang sambung-menyambung. Masing-masing dari alam ini yang mempunyai derajad tertinggi mempunyai hubungan langsung dengan alam berikutnya yang mempunyai derajad terendah. Seperti alam mineral derajad tertinggi mempunyai hubungan langsung dengan alam tumbuh-tumbuhan yang mempunyai derajad terendah dan demikian seterusnya alam tumbuh-tumbuhan dengan hewan dan alam hewan dengan alam manusia.[26]

3.   Ketuhanan
Dalam pembahasan ketuhanan, Ikhwan As-Shafa melandasi pemikirannya pada angka-angka atau bilangan. Pengetahuan tentang angka membawa pada pengakuan tentang keesaan Allah karena apabila angka satu rusak maka rusaklah semuanya. Mereka mengatakan angka satu sebelum angka dua, dan dalam angka dua terkandung pengertian kesatuan. Dengan istilah lahir, angka satu adalah angka yang pertama dan angka itu lebih dahulu dari angka dua dan lainnya. Oleh karena itu, keutamaan terletak pada yang dahulu, yakni angka satu. Sementara angka dua dan lainnya terjadinya kemudian. Maka terbuktilah bahwa yang Maha Esa (Allah) lebih dahulu dari yang lainnya seperti pendahulunya angka satu dari angka lain.[27]
Ikhwan As-Shafa juga melakukan al-tanzih dan meniadakan sifat serta al-tasybihpada Allah SWT. Ia bersih dari bentuk dan berupa. Ia adalah zat yang Esa, yang tidak mampu mekhluk-Nya untuk mengetahui hakikat-Nya. Ia pencipta segala yang ada dengan cara al-faidh (emanasi) dan memberi bentuk, penciptaan-Nya tanpa waktu dan tempat dan cukup dengan firman-Nya: kun fa kana, maka adalah segala yang dikehendaki-Nya. Ia berada pada segala sesuatu tanpa berbaur dan bercampur, seperti adanya angka satu dalam tiap-tiap bilangan. Sebagaimana bilangan satu, tak dapat di bagi dan tidak serupa dengan bilangan lain, demikian pula Allah tidak ada yang menyamai dan menyerupai-Nya. Akan tetapi, Ia jadikan fitrah bagi manusia untuk dapat mengenal-Nya tanpa belajar. Dari pembahasan terlihat jelas besarnya pengaruh Neo Pythagoreanisme yang dipadukan dengan filsafat keesaan Platinus pada Ikhwan As-Shafa.[28]
Tentang adanya Allah, menurut Ikhwan As-Shafa merupakan hal yang sangat mudah dan nyata. Hal ini disebabkan manusia dengan fitrahnya mengenal Allah dan seluruh yang ada ini akan membawa manusia pada kesimpulan pasti tentang adanya Allah yang menciptakan segala yang ada. Ikhwan As-Shafa juga menolak sifat dan antropromorfis bagi Allah, sebagaimana yang satu tidaklah tersusun. Menurut mereka melekatkan sifat kepada Allah hanya sekedar metamorfosis guna memudahkan pemahaman bagi masyarakat awam. Sementara itu Allah tidak dapat diserupakan dan disetarakan dengan makhluk-Nya, seperti terpatri dalam firman-Nya: Laisa kamisilih syai’. Tentang ilmu Allah mereka katakan bahwa seluruh pengetahuan berada dalam ilmu Allah, sebagaimana beradanya seluruh bilangan dalam satu. Berbeda dengan ilmu para pemikir, ilmu Allah dari zat-Nya sebagaimana bilangan yang banyak dari bilangan yang satu, yang meliputi seluruh bilangan. Demikian pula ilmu Allah terhadap segala yang ada.[29] Aktifitas akal ada dua, ilmu dan ciptaan. Bagi Ikhwan As-Shafa seseorang bisa memiliki potensi, tetapi potensi tidak akan bisa aktual tanpa bimbingan guru. Selain itu, mereka memandang bahwa ilmu yang diketahui manusia datang dari tiga jalan: paca indera, argumen, dan perenungan akal. Ketiga jalan ini merupakan tahapan ilmu yang sederhana dan dapat sampai kepeda ma’rifat Allah dengan syarat zuhud (ascetis) dan amal shaleh.

4.   Matematika
Matematika adalah tahapan pengetahuan yang harus dilalui oleh seseorang yang ingin mempelajari filsafat.[30] Dalam pembahasan matematika, Ikhwan As-Shafa dipengaruhi oleh Pythagoras yang mengutamakan pembahasannya tentang angka atau bilangan. Bagi mereka angka-angka itu mempunyai arti spekulatif yang dapat dijadikan alil wujud sesuatu. Oleh sebab itu, ilmu hitung merupakan ilmu mulia dibanding ilmu empirik karena tergolong ilmu ketuhanan. Angka satu merupakan dasar segala wujud ini dan merupakan permulaan yang mutlak.huruf hijaiyah yang 28 merupakan hasil perkalian dari empat dan tujuh. Angka tujuh mengandung  nilai kesucian, sedangkan angka empat menempati posisi penting dalam segala hal yang tercermin pada ciptaan Allah terhadap segala sesuatu di alam ini. Seperti empat penjuru angin, empat musim[31] dan empat unsur empedolcean. Terdapat empat sifat dasar dan empat jenis cairan dalam diri manusia, kecapi mempunyai empat senar dan bahkan materi dapat dibagi menjadi empat jenis. Alasan dibalik pemuliaan terhadap angka-angka tertentu semacam ini mudah ditemukan. Tuhan menciptakan banyak hal dalam kelompok empat-empat dan materi-materi alam tersusun secara empat-empat yang pada dasarnya berkaitan atau searas, dengan empat prinsip spiritual yang berkedudukan di atas mereka, yang terdiri atas sang pencipta, Akal Universal, Jiwa Universal, dan Materi Pertama.[32]
Ilmu bilangan berkaitan dengan planet-planet. Masing-masing mempunyai tugas khusus. Bulan bertugas membuat tubuh manusia tumbuh dan berkembang. Merkuri bertugas mencerdaskan akal. Matahari bertugas memberi nikmat. Mars memberi sifat keberanian, keperkasaan, kemuliaan. Yupiter membimbing manusia dalam pengembaraannya sampai pada kehidupan akhirat. Termasuk pengiriman Nabi, juga berhubungan dengan peranan planet-planet tersebut.
Kontribusi Aristoteles pada karya-karya Ikhwan adalah dalam bidang terminologi metafisika, suatu bidang yang sering diserbu oleh terminologi Neoplatonisme. Oleh karena itu, ditemukan istilah substansi dan aksiden, materi dan bentuk, potensi dan aktualitas, dan beberapa istilah aristotelian lain yang tersebar di seluruh teks Ikhwan. Berikut contoh bagaimana istilah-istilah dasar Aristoteles di Neo Platonis-kan dalam karya Ikhwan As-Shafa ini berkaitan dengan empat sebab klasik Aristoteles:
Diantara empat sebab tumbuhan, dua yang dapat dianggap/diakui bersifat Aristotelian: sebab material tumbuhan adalah empat unsur, sebab finalnya adalah ketentuan penyediaan makanan bagi binatang, tetapi sebab efisiennya adalah kekuatan jiwa universal, sedangkan sebab formalnya berkaitan dengan alasan-alasan kebinatangan yang panjang penjelasannya.[33]

5.   Jiwa Manusia
Jiwa manusia bersumber dari jiwa universal. Dalam perkembangannya jiwa manusia banyak dipengaruhi materi yang mengitarinya. Agar jiwa tidak kecewa dalam perkembangnnya, maka jiwa dibantu oleh akal yang merupakan daya bagi jiwa untuk berkembang.[34] Ikhwan A-Shafa memandang manusia terdiri dari dua unsur, yaitu jiwa yang bersifat materi, dan tubuh yang merupakan campuran dari tanah , air, udara, dan api. Dalam salah satu tulisan mereka, dikatakan bahwa masuknya masuknya jiwa ke dalam tubuh merupakan hukumankepada jiwa yang telah melakukan pelangaran (melanggar larangan tuhan, seperti dalam kisah Adam a.s dan pasangannya Hawa). Karena pelanggaran itu jiwa diusir dari surga, yakni alam rohani dan harus turun ke bumi, masuk ke dalam tubuh. Dengan hukuman itu, jiwa yang semulanya memiliki pengetahuan yang banyak secara aktual, setelah memasuki tubuh menjadi lupasama sekali dengan pengetahuannya, dan jadilah pengetahuan itu terdapat dalam jiwa secara potensial saja. Dengan bantuan tubuh dan panca indra tubuh sebagai alat jiwa, secara berangsur-angsur jiwa manusia dapat memiliki kembali pengetahuan secara aktual. Dalam versi lain tidak tergambar bahwa keterusiran jiwanya dari alam rohani, yang merupakan surga bagi jiwa, masuk kedalam tubuh yang terdapat di bumi.
Lepas dari masalah sebab keberadaan jiwa dalam tubuh manusia, jiwa manusia menurut Ikhwan As-Shafa karena berada di dalam tubuh, awalnya tidak mengetahui apa-apa, tetapi memiliki kemampuan untuk menerima pengetahuan secara berangsur-angsur. Manusia haruslah dididik sedemikian rupa dengan ajaran-ajaran yang diwahyukan dan pengajaran filsafat sehingga mengaktual pada jiwanya pandangan keyakinan dan pengetahuan yang benar, baik tentang realitas maupun tentang apa yang seharusnya dibiasakan manusia. Dengan pendidikannya yang benar, jiwa manusia yang bersih dikatakan oleh Ikhwan As-Shafa sebagai malaikat dalam potensi. Bila waktu kematian, yakni waktu berpisahnya jiwa dari tubuh, jiwa itu mengaktual menjadi malaikat, masuk ke alam surga, alam rohani, yang terletak di alam langit. Berbahagia di sana dengan segala macam kesenangan rohani. Sebaliknya, jiwa manusia yang bergelimang dosa, kotor karena memperturutkan hawa nafsu, mereka dikatakan sebagai setan dalam potensi. Bila datang waktu kematian jiwa bisa mengaktual menjadi setan tidak bisa naik ke alam surga di langit, tetapi terombang-ambing dalam gelombang materi, menderita dalam neraka materi di bumidan lapisan udara di bawah langit atau falak bulan, karena keinginan-keinginannya yang tetap membara untuk mendapatkan kesenangan lewat jasmani tidak pernah lagi terpenuhi.[35]
Manusia selain memiliki indra zahir, juga memiliki indra batin yang berfungsi mengolah hal-hal yang ditangkap oleh indra zahir sehingga melahirkan konsep-konsep.[36]
Dalam tubuh manusia memiliki tiga fakultas:
1.   Jiwa Tumbuhan
Jiwa ini dimiliki oleh setiap makhluk hidup: tumbuhan, hewan, dan manusia. Jiwa ini terbagi dalam tiga daya: makan, tumbuhm reproduksi.
2.   Jiwa Hewan
Jiwa ini hanya dimiliki oleh hewan dan manusia saja. Ia terbagi dalam dua daya: penggerak dan sensasi (persepsi dan emosi)
3.   Jiwa Manusia
Jiwa ini hanya dimiliki manusia saja. Jiwa yang menyebabkan manusia berfikir dan berbicara.
Ketiga fakultas jiwa di atas bersama dengan daya-dayanya bekerja sama dan menyatu dalam diri manusia. Disinilah letak kelebihan manusia dari makhluk ciptaan Allah yang lain.


sumber : //oktakurniautami Blog

0 Comment:

Popular Posts